Jakarta, Lensa Parlemen – Diawal bulan Ferbuari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat untuk berperan aktif dalam memberi masukan dan kritikan pada pada kinerja pemerintah, khususnya pada layanan publik. Disampin itu, pihaknya juga, bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik.
“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan,” kata Jokowi saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021.
Setelah pidato Presiden Jokowi tersebut ramai diberitakan, hal itu langsung mendapatkan respon dan sarkasme dari banyak nitizen.
“UUITE: assalamualaikum” Kata Bintang Emon (Seorang komedian sekaligus influencer) menulis di twitter, 8 Febuari 2021.
Dan mereka memberi masukan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering menjadi simalakama bagi orang yang menyampaikan kritik.
Tak lama sepekan setelahnya yang banyak respon terkait UU ITE, Presiden Jokowi bicara soal UU ITE yang banyak di respon oleh masyarakat. Jokowi mengatakan akal mengajukan revisi UU ITE ke DPR jika UU tersebut dinilai tak bisa memberi keadilan.
“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini,” kata Jokowi seperti dilihat dalam Channel YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 15 Febuari 2021.
Sehabis Presiden Jokowi menyampaikan pidatonya, Lembaga Amnesty Internasional Indonesia menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus memberi rasa keadilan kepada masyarakat.
“Kami mengapresiasi pernyataan Presiden bahwa UU ITE harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, akan tetapi tidak boleh menjadi sekedar jargon. Langkah pertama yang harus dilakukan Presiden untuk menindaklanjuti pernyataan sendiri adalah dengan membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya mengekspresikan pandangannya secara damai.” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dilansir amnesty.id hari Selasa, 16 Febuari 2021.
Disamping tindakan Presiden Jokowi yang ingin merevisi UU ITE, Lokataru Foundation mengadakan konferensi pers online untuk menyikapi wacana revisi UU ITE dan kebebasan berekspresi pada umumnya, Rabu, 17 Februari 2021. Manajer Lokataru mengatakan tidak akan mengurangi banyak kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga.
“Kami nilai revisi UU ITE ini tidak akan merubah banyak apalagi kalua misalnya eksekusi seperti ini, hari ini bilang A, tiba-tiba besok bilang B. Jadi susah untuk optimis dan berprasangka baik dengan revisi UU ITE ini karena memang dari awal kayanya, kok, main-main. Toh, kalau berhasil direvisi tidak bakal juga banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga.” Kata Manajer Lokataru Mirza Fahmi, di Instagram Lokataru hari Kamis, 18 Febuari 2021.
Merevisi pasal karet belaka kami nilai tak akan banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga. Ini bukan hanya soal dokumen hukum semata; tetapi kemampuan pemerintah (termasuk warganya) yang masih dipertanyakan saat berjumpa dengan kritik di ruang publik. Lagipula, pemantauan Lokataru Foundation selama setahun terakhir menemukan bahwa negara masih memiliki seabrek perangkat hukum lain yang dapat digunakan sesuai kebutuhan; seperti pasal penghasutan, keonaran hingga pelanggaran aturan kerumunan. Pasal penghinaan terhadap mata uang rupiah pun bisa dipakai untuk membungkam masyarakat sipil seperti kasus Manre, nelayan Kodingareng, Makassar yang merobek ‘amplop’ ganti rugi dari PT. Boskalis. (source: lokataru.id)
Sepakat bahwasannya pasal karet yang ada di UU ITE wajib direvisi. Akan tetapi, kemunduran demokrasi di Indonesia tak berawal dan berakhir sampai disini saja. Semua berawal pada masalah yang lebih fundamental; tak hanya menyangkut pemerintah yang mendesain dan menggunakan perangkat hukumnya untuk mengkriminalisasi warga, tapi juga mengendap dalam watak masyarakat sendiri, yang diam-diam menolak demokrasi yang mensyaratkan kebebasan berekspresi untuk semua.
(Fadhlur Rohman Choer, Presiden Mahasiswa BEM KBM STEI SEBI)