Awalnya saya kira perjalanan ke Pagaruyuang akan membosankan. Bersama tim Satuan Tenaga Konselor Kepariwisataan (SANAK) saya hanya berniat berbagi apa yang saya tau kepada penggerak disana. Jalan-jalan? Ah, Pagaruyuang kan hanya soal Istano Rajo Basa… dari kecil juga sudah kesitu! begitu bathin saya. Namun, ketika sudah sampai betul ke pusat Nagari Pagaruyuang (yang ternyata bukanlah kawasan Istano) saya jadi tiap sebentar terkejut. Ada begitu banyak hal mempesona disana. Sawah yang rapi dan luas, pemandangn Gunung Marapi nan lebih jernih dibanding daerah manapun, sungai bersih dan bebatuan kars pada bukit-bukitnya yang tinggi, goa, rumah dan surau tua….. pokoknya PAGARUYUANG BUKAN HANYA ISTANO!
Nah, ketika sampai di objek yang dinamai Tigo Luhak, keterkejutan saya mencapai puncaknya. Adalah sebuah batu besar seukuran rumah yang waktu itu ada di hadapan saya. Batu itu kami capai setelah perjalanan sekitar 15 menit dari perkampungan. Diantara rerimbun daun, batu besar itu nampak gagah menjulang. Kami naik ke atasnya melewati tangga yang terbuat dari bambu. Dan diatas batu itu tampaklah pemandangan hutan yang sangat menawan. Yang jauh lebih menarik lagi adalah keberadaan tiga ceruk atau lobang berisi air disana. Wali Nagari yang juga seorang Datuk menjelaskan kepada saya bahwa dinamai dengan 3 Luhak, karena objek itu merupakan asal muasal penetapan luhak di Minangkabau. Saya jadi bergidik. Saya tebak, ini pasti ada cerita mistisnya. Benar saja. Cerita mistis soal istana emas, dan peziarah yang bahkan sengaja datang dari Bali untuk napak tilas “membesuk” nenek moyangnya disana. Panjang cerita soal ini, kita balik saja dulu ke persoalan luhak tadi.
Wali Nagari Irmaidinal Datuak Magek tiap sebentar meyakinkan saya bahwa batu besar itu adalah tempat persinggahan penting bagi Rajo Ibadat. “Dulu rajo mandi dulu disitu sebelum berangkat kemana-mana” kata Wali Nagari sambil menunjuk sebuah lekuk panjang seukuran tubuh manusia yang terdapat pada bagian batu yang melandai. Mandi? ya, menurut Wali Nagari, rajo mandi dengan posisi telentang. “Persis seperti memandikan jenazah” kata Habibi, salah seorang penggerak wisata menambahkan. Bulu kuduk saya bergidik. Mak, saya ini sedang dimana? bathin saya.
Tiap tahun, terang Irmaidinal, ada saja pengunjung dari Bali yang datang ke Tigo Luhak. “Mereka ziarah kesini. Katanya dari Buleleng”. Waduh, panjang lagi ini ceritanya. Saya akan tuliskan pada kesempatan lain. Balik lagi ke soal Tiga Ceruk. “Jadi, ini ceruk yang melambangkan ke tiga wilayah luhak. Mari kita ambil airnya,” sebutnya. Air diambil dengan gelas Aqua. Ceruk yang katanya adalah milik luhak 50 Kota, setelah diarahkan ke matahari airnya memang berwarna gelap kehitaman, persis dengan bendera luhak itu! Air dari ceruk yang katanya punya Tanah Datar juga begitu, Kuning airnya. Sedangkan yang punya Agam, airnya kemerahan! semua persis seperti warna bendera masing-masing yang terintegrasi pada warna marawa. Masyaallah….. saya sedang dimana ini mak?!
Adi, bosnya Green Talao Park, salah seorang anggota Tim Sanak juga, iseng sendiri. Diambilnya kayu panjang, dimasukkannya ke dalam tiap ceruk. “Kita ukur dalamnya jo!” katanya. Saya cemas. Jangan-jangan ini berbahaya. Tapi Adi baca bismillah dulu setelah “minta izin”. Ketika kayu diangkat dari masing-masing ceruk, rata-rata kedalamannya tidak sampai sepinggang orang dewasa. Namun, kata Roni, ketua Kelompok Sadar Wisata setempat, ceruk-ceruk itu tidak pernah kering. “Bayangkan saja jo, ceruknya ada di batu, tapi airnya tak pernah kering. Dari kecil saya disini, saya tak pernah lihat ceruk ini kosong dari air. Tapi tidak pula pernah melimpah ruah. Persis kata luhak itu, yang artinya tidak cukup,” terang Roni yang juga pandeka silek Sitaralak ini. Saya makin bergidik.
Masih banyak cerita unik dari Nagari Pagaruyuang. Bila anda sempat kesini, mainlah sampai ke pusat nagarinya. Ada sejumlah Jorong disana. Tiap Jorong, unik ceritanya. Mau selfi, mandi, atau bertualang, sah-sah saja. Tapi, seperti pesan Waliangari kepada kami “jaga kelakuan!” itu saja!. (Aw*)