Setelah Pemerintah mencabut pasal-pasal terkait Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) sebagai Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dalam RUU Cipta Kerja, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto , minta Pemerintah segera mengkonsolidasikan diri untuk merevisi UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Mulyanto, sejak Badan Pelaksana Hulu Migas yang diatur dalam UU di atas dibatalkan keputusan MK pada tahun 2012, maka praktis pelaksana kuasa pertambangan migas yang dijalankan oleh Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas yang bersifat sementara.
Namun faktanya SKK Migas, lembaga yang bersifat sementara itu sudah berlangsung lebih dari 8 tahun. Waktu yang tidak pendek.
Menurut Mulyanto, semestinya Pemerintah sudah menyiapkan konsep kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan yang matang dengan matang, sebagai tindak lanjut dari keputusan MK, sehingga pembangunan di sektor hulu migas benar-benar dapat dijalankan secara optimal untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Kelembagaan yang sekarang, yakni SKK Migas, jelas tidak ideal, karena selain bersifat sementara, hanya berupa satuan kerja di dalam Kementerian ESDM serta hanya memiliki fungsi dalam pengaturan dan pengawasan. SKK Migas tidak memiliki fungsi pengelolaan dan pengusahaan, ”ujar Mulyanto.
“PKS sendiri menginginkan kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas atau BUMN-Khusus ini, sesuai amanat MK, dapat menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan, pengawasan sekarang dilaksanakan SKK Migas juga ditambah fungsi pengelolaan dan pengusahaan sektor migas. Jadi BUMN Khusus ini berfungsi sebagai ‘regulator’ sekaligus ‘doers’ (pelaksana) di sektor hulu migas, ”papar Mulyanto
Tujuannya, lanjut Mulyanto, agar Pemerintah sebagai representasi dari Negara dan pemegang kuasa pertambangan migas, langsung sektor hulu migas ini demi kemakmuran masyarakat.
Kondisi sekarang, imbuhnya, SKK Migas tidak memiliki fungsi secara langsung termasuk pengusahaan sektor migas. Akibatnya Negara tidak dapat mengoptimalkan pengelolaan sektor migas ini sebesar-besarnya demi kemakmuran masyarakat. Misalnya negera mengeluarkan biaya tambahan untuk menjual bagian Pemerintah atas migas, dll.
“Dengan kelembagaan yang terbatas seperti sekarang, kita pesimis menargetkan minyak 1 juta barel per hari dapat terwujud,” imbuh Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan BUMN-Khusus ini sebaiknya hanya khusus sektor hulu migas tidak ke sektor hilir, karena di sektor hilir sudah ada BPH Migas sebagai regulator dan PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana (doers).
“Pertamina sebagai BUMN yang juga bergerak di sektor hulu migas, tetap eksis dan mendapat penghargaan dalam usaha hulu migas tersebut,” kata Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.