Lensaparlemen.com, Malang – Kekalahan di luar dugaan kader terbaik Muhammadiyah pada pemilihan presiden tahun 2004 lalu, merupakan realitas yang berat yang harus diterima oleh warga Muhammadiyah.
Hal ini berlanjut dengan diabaikannya kader-kader terbaik Muhammadiyah selama 10 tahun ketika Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Meskipun mendapat sedikit tempat pada dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kondisi tersebut belum menggambarkan besarnya kontribusi Muhammadiyah dalam perjalanan bangsa ini.
Dalam sistem politik yang dianut saat ini, jika tidak berkeringat dalam kerja-kerja politik, tentu jangan berharap akan mendapat jatah kue kekuasaan.
Karena Muhammadiyah bukan partai politik, tentu sulit berharap akan mendapatkan porsi cukup untuk mengisi posisi menteri. Meskipun, cukup banyak kader Muhammadiyah secara individu menjadi tim sukses presiden pemenang pemilu.
Walaupun dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah membidani lahirnya dua partai politik setelah era reformasi, namun partai politik yang didirikan tidak tumbuh sebagaimana diharapkan. Sehingga, tidak dapat menjadi sandaran politik bagi Muhammadiyah atau sekedar menjadi rumah bagi politisi Muhammadiyah.
Demikian juga dengan kader-kader politik Muhammadiyah yang tersebar di berbagai partai politik. Posisi mereka bukanlah pada posisi yang menentukan dan sangat kesulitan menuju Senayan.
Fenomena ini lah yang memicu pernyataan Buya Syafi’i Maarif selaku sesepuh Muhammadiyah. Bahwa, Muhammadiyah itu “yatim-piatu” secara politik. Dengan kata lain, Muhammadiyah tidak memiliki Ibu/Bapak (instrumen politik praktis) yang membuat Muhammadiyah tidak memiliki nilai tawar kuat secara politik.
Sementara di sisi lain, perjuangan Muhammadiyah dalam menjalankan peran-peran kebangsaannya, memerlukan dorongan keputusan-keputusan politik strategis.
Realitas di atas tentunya memantik rasa frustasi dan mengundang pertanyaan di kalangan Muhammadiyah. Apakah memang Muhammadiyah tidak berbakat dalam berpolitik praktis? Bagaimana caranya agar Muhammadiyah tetap penting, meski tidak masuk dalam arus politik praktis?
***
Merespon hal tersebut, tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah, lebih memilih mengajak Muhammadiyah untuk bergerak lebih dominan (kembali) dalam peran high politics (politik moral). Meski tetap harus ada yang mengawal politik praktis melalui kader-kader politik Muhammadiyah yang tersebar di partai-partai politik.
Namun demikian, pilihan (kembali) pada high politics ini juga tidak menjamin Muhammadiyah akan mendapatkan perhatian dan peran lebih oleh pemerintah yang berkuasa. Jika peran high politics tersebut, tidak ditopang oleh individu-individu/kader unggul dan berkualitas tinggi.
Harapannya meski rezim berganti, kader-kader Muhammadiyah akan tetap dibutuhkan dan memiliki peran-peran strategis.
Dalam mendukung peran high politicsMuhammadiyah, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi merupakan sebuah syarat mutlak. SDM yang dimaksud tidak hanya SDM yang berlatar-belakang ilmu politik dan agama. Namun juga latar belakang keilmuan lain yang akan sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.
Banyak area lain Muhammadiyah yang dianggap belum memiliki kader-kader mumpuni. Misalnya keuangan, perbankan, bisnis, pertahanan, pertanian, perikanan, energi, manufaktur, lingkungan, psikologi, IT (teknologi informasi), dan lain-lain.
Dalam lokus penguasaan keilmuan yang sangat spesifik, langka, dan terbaru misalnya, Nanotechnology, robotics, IT, advanced material, conflict resolution, biomedical, data science, artificial intelligence, teknologi battery, biotechnology, renewable energy, ilmu kebencanaan, dan masih banyak lainnya.
Di atas tersebut merupakan keilmuan spesifik yang sangat dibutuhkan saat ini. Sehingga, proyek utama ke depan yang paling mendesak dan musti secara besar-besaran dilakukan oleh Muhammadiyah adalah proyek penyediaan SDM unggul.
Langkah Strategis Muhammadiyah
Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh Muhammadiyah dalam mengembangkan SDM unggul yang dapat dipanen dalam 5-10 tahun ke depan. Cara pertama adalah membina dan mendorong dosen-dosen terbaik yang ada di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) untuk mendapatkan pendidikan S2 dan S3.
Atau pengalaman post-doctoral pada universitas-universitas atau center of excellentterbaik di dunia. Belum banyak PTMA yang benar-benar konsen pada cara yang pertama ini, bahkan termasuk PTMA besar sekalipun. Kendalanya adalah biaya yang sangat besar atau juga karena kepemimpinan yang masih belum berorientasi pada pengembangan SDM unggul.
Cara kedua, adalah melakukan pembinaan secara khusus kepada mahasiswa yang memiliki kemampuan leadership dan prestasi akademik terbaik di PTMA. Tujuannya agar siap bersaing mendapatkan beasiswa untuk menembus universitas-universitas terbaik di dunia dan melanjutkan program S2 dan S3.
Dari beberapa PTMA besar mungkin hampir belum ada yang melakukan ini secara serius. Cara seperti ini adalah yang paling berpotensi untuk berhasil, karena dibina dengan baik.
Mahasiswa yang masuk dalam program ini diberi beasiswa dan diasramakan agar mendapatkan pembinaan keislaman, kepemimpinan, kemampuan berbahasa, serta akan menjadi kader inti karena diwajibkan mengikuti Darul Arqom sampai pada level paripurna.
Cara ketiga, adalah melakukan open talent scouting untuk anak-anak terbaik Muhammadiyah dari PTMA, PTN, dan PTS non-PTMA untuk dipersiapkan dan dicarikan beasiswa S2-S3 di universitas-universitas terbaik di dunia.
Talent Scouting yang dilakukan memberikan peluang terjaringnya potensi anak-anak terbaik dari keluarga Muhammadiyah dan bahkan simpatisan Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari program penjaringan SDM unggul.
***
Diaspora Kader Muhammadiyah
Proses scouting, persiapan bahasa, sampai pada pencarian beasiswa merupakan hal yang harus dilakukan dan dimodali/disponsori oleh Muhammadiyah. Karena mereka ini berasal dari berbagai latar belakang, maka sebelum dikirim untuk studi lanjut, maka harus diberikan orientasi mendalam tentang Muhammadiyah.
Tugas yang diberikan kepada mereka-mereka di atas adalah belajar ilmu-ilmu yang spesifik, langka, dan terbaru sesuai program studi mereka saat studi S1. Lalu bagaimana langkah mereka setelah pulang, harus kembali ke mana dan melakukan apa?
Bagi yang asalnya adalah dosen PTMA, maka mereka harus kembali ke PTMA asal mereka. Peran utama mereka adalah merintis atau menghidupkan center of excellent di PTMA sesuai kepakaran mereka masing-masing.
Kemudian, SDM unggul yang diperoleh dengan cara kedua, diutamakan untuk kembali ke PTMA saat S1 mereka masing-masing atau ke PTMA yang sudah memiliki center of excellent yang sesuai dengan kepakaran mereka.
Namun, jauh-jauh hari Majelis Dikti Litbang perlu memetakan, Muhammadiyah akan membangun center of excellent apa dan ditugaskan ke PTMA yang mana saja, sesuai dengan spesifikasi keilmuan SDM yang telah dikirim.
Maka melalui center of excellent yang tersebar di banyak PTMA ini lah nanti Muhammadiyah berperan secara signifikan menghasilkan pikiran-pikiran dan temuan-temuan luar biasa bagi bangsa, sekaligus mencari perhatian warga bangsa yang lain.
Sementara kelompok SDM yang direkrut dengan cara ketiga, dapat memiliki beberapa opsi, misalnya, sebagian ke PTMA, dan sebagian lain menyebar ke PTN atau lembaga-lembaga strategis nasional lain, bahkan juga dapat ke lembaga-lembaga internasional.
Dengan penyebaran ini diharapkan, SDM yang ada juga bisa tumbuh di ekosistem lain selain PTMA. SDM yang ditempatkan bukan PTMA ini diharapkan dapat memberi identitas lingkungannya dan kemudian menjadi poros lain sumber kader yang seolah-olah profesional murni, namun sesungguhnya adalah kader-kader yang sudah disiapkan semenjak lama.
Keuntungan lain adalah ketika mereka ada di PTN atau di lembaga-lembaga strategis nasional, mereka akan punya kesempatan tumbuh lebih cepat karena memiliki fasilitas dan kesempatan berkembang lebih baik. Di samping itu akan memberikan peluang jejaring bagi kawan-kawannya yang berbasis pada PTMA.
Dengan dipersiapkan dan tersedianya SDM unggul Muhammadiyah sedemikian rupa, maka akan tersedia individu-individu hebat yang siap mengabdi pada bangsa dan negara ini untuk berbagai peran strategis, di luar apa yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini.
Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan bukanlah sebuah isapan jempol semata. Mimpi Muhammadiyah memiliki lebih banyak menteri, bahkan memiliki banyak tokoh yang siap menjadi presiden sekalipun, tanpa harus menjadi partai politik juga terbuka lebar.
Sehingga, peran yang dimainkan Muhammadiyah dalam membangun bangsa ini juga semakin besar. Meski rezim politik berganti, kader-kader Muhammadiyah tetap menjadi pilihan utama dalam memimpin gerak-langkah bangsa.
“Zulfatman; Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang”