Kelompok usaha besar yang dimiliki oleh segelintir orang telah mendominasi perekonomian Indonesia atas jutaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Akibatnya, kesenjangan ekonomi terus saja berlangsung. Menurut survei dari Tim Nasional Percepatan Penaggulangan Kemiskinan (TNP2K), satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Pola persaingan bebas yang berlaku saat ini hanya akan menguntungkan pemain-pemain ekonomi besar sementara jutaan rakyat kecil hanya akan menjadi korban.
Indonesia sebenarnya menganut sistem ekonomi Pancasila yang merupakan pengejawantahan dasar negara dalam bidang ekonomi. Tujuan sistem ekonomi Pancasila menurut Arif Budimanta adalah untuk menciptakan kehidupan perekonomian yang berdasarkan asas kekeluargaan, menguatkan posisi usaha rakyat dalam kehidupan perekonomian; terciptanya ekosistem usaha yang adil; pemanfaatan sumber daya alam dan energi sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat; serta terpenuhinya hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, implementasi nilai-nilai tersebut dalam perekonomian belum dapat dilaksanakan dengan baik. Dominasi pemain besar secara nyata dirasakan oleh masyarakat, sementara para pengusaha UMKM kesulitan untuk tumbuh dan berkembang. Sistem ekonomi Pancasila tidak melarang adanya persaingan. Tidak ada masyarakat yang sepenuhnya bersaing secara sempurna atau sepenuhnya bekerja sama. Titik keseimbangannya adalah pada kompetisi dan kerja sama, yang dilakukan secara sehat dan adil sehingga menguntungkan bagi kemajuan individu maupun kesejahteraan kelompok. Negara juga memiliki hak monopoli atas sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan politik ekonomi di Indonesia didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 yakni, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Dari sini dapat diartikan bahwa setiap pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dalam ekonomi pasar yang wajar. Kekuatan permintaan dan penawaran dalam pasar diakui sejauh berjalan dengan mekanisme yang normal. Sayangnya, mekanisme pasar seringkali terdistorsi karena faktor monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat seperti kartel, diskriminasi harga, pemboikotan pelaku usaha lain, perjanjian tertutup, kontrol rangkaian proses produksi dan pemasaran, koordinasi penetapan harga, predatory pricing, predatory condust, dan lainnya. Pengaturan pasar dilakukan oleh para pemain besar untuk mempertahankan dominasinya. Karena itu, dibutuhkan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah agar terwujud persaingan yang sehat dan adil, supaya tidak terjadi homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, yang dapat diinterpretasikan sebagai pihak yang besar atau yang kuat memakan yang kecil dan lemah. Saat ini telah terdapat UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan pengawasan atas praktik-praktik usaha tidak sehat atau monopoli. Selama 20 tahun keberadaannya, lembaga ini telah menghasilkan 349 putusan perkara. Sebanyak 56 persen upaya keberatan di Pengadilan Negeri dimenangkan KPPU, keberatan di tingkat Mahkamah Agung sebanyak 58% dan sebanyak 80% upaya peninjauan kembali dimenangkan KPPU. Namun demikian, terdapat sejumlah kendala yang menjadi hambatan bagi KPPU untuk menjalankan tugasnya seperti tiadanya kewenangan penggeledahan; tidak ada akses data karena alasan kerahasiaan perusahaan; atau tidak dapat memaksa kehadiran pelaku usaha atau saksi. Pada akhirnya, KPPU tergantung pada instansi pemerintah lain untuk menjalankan tugas dan wewenang tertentu sehingga hasil yang dicapai tidak selalu sesuai dengan harapan. Hal ini berbeda dengan beberapa komisi persaingan usaha di negara lain yang memiliki wewenang penggeledahan seperti yang terjadi di Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dengan demikian, mereka lebih mampu menjalankan tugas dan wewenangnya ketika terdapat indikasi persaingan usaha yang tidak sehat.