INI kisah zaman kuno pada sebuah etalase periode istana dan dalam penguasaan yang sangat panjang. Zaman dimana abjad yang dianggap dan terkenal hanya huruf O. Besar atau kecil. Istana dan singgasana hanya pamer abjad. Lagi-lagi hanya O. Entah mengapa hanya itu yang laku. Mungkin wangsit para kuntilanak, agar semua jadi mau. Padahal ejaan zaman itu sudah maju dan setiap manusia dan kuntilanak pun berbahagia karena A sampai Z, termasuk U. KamU, BapakmU, PamanmU, tetanggamU.
Zaman itu. Ya zaman itu. Begitu senangnya sama yang berlabel kerbau. Bahkan dipimpin sekaligus menyetir kerbau. Seperti anak petani sawah yang kerap senyum riang dan tersipu. Bikin senang seumur hidup, katanya, benar-benar seperti lagu. Bila diceritakan takkan pernah selesai, karena terus dirayu dan ditipu. Abadi. Selamanya. Berabad-abad. Atau mungkin pada zaman bumi sudah hancur lebur, silakan cari tahu. Tapi pada kenyataannya memang tak mau tahu dan tak tahu menau. Karena memang enggan dan minus rasa malu.
Bikin ini itu, seperti kentut di mana-mana dan pasti sangat bau amis. Tapi dipuja dan dipuji sebagai penuntas pembangunan secara sadis. Kata tetangga, bukan kopi tambah manis seperti janji yang pasti manis. Malah tambah rusak dan benar-benar jadi bau amis. Walau kadang menggunakan gamis untuk sekadar berpose dan menebar pesan bahwa yang bertopeng dan yang topang juga punya jenggot dan kumis, semuanya juga sudah tahu bahwa itu hanya lakon yang sangat minimalis. Dasar manusia kerdil bermental kardus!
Memang bukan bikin tipis alis. Tapi mungkin lebih kepada selera oligarkis yang rajin pipis dan keluarin mimis. Ada tambang ini, tambang itu, ya yang penting semakin eksis. Semua jadi ambisius dan memang doyan narcis. Alasan dan tameng dibikin berlapis-lapis agar tak ada yang menembus batas untuk membawa ruh optimis. Sebab semua bisa digadai, diancam, diteror, diintimidasi dan ini yang begitu sangat telanjang: bisa dibeli abis. Minimal menyumpal dengan air serupa jeruk nipis padahal nyatanya air pipis.
Bukan ini itu. Bukan anu anu. Bukan sini sana. Itu adalah sabda tameng dipamer berulang-ulang, di mana-mana. Termasuk berita media yang sudah disulap jadi mantra, karena memang pembela. Dan bukan apa lagi, itu semuanya terserah Anda. Karena semua sudah dianggap merdeka walaupun faktanya hanya sandiwara. Satu hal yang penting: terus bikin novel agar bisa jadi film atau sinetron maya. Benar-benar adegan norak dan nestapa. Itulah yang bikin tambah luar biasa, walau sekadar lagi-lagi sandiwara.
Sampai kapan semua itu berakhir, itu tak mau dipikir. Sebab yang ada dalam benak hanya merebut harta lalu kikir. Urusan anggaran berleha-leha alias mubazir, itu tak menjadi isi pikir. Toh semuanya hanya lakon yang lagi-lagi semuanya dalam skenario sutradara yang sumir. Negeri kuno pun sekadar cerita, tapi tapaknya bisa dibaca termasuk oleh yang masih parkir. Menanti jam tayang sambil nyengir di pinggiran istana sebagai martir. Kelak bila dibiarkan atau masih seperti itu, semuanya bakal kocar-kacir. Begitu kata seorang penjilat yang juga kurir.
A, B, C, D, J, O, S, M, hingga Z pun memang sekadar abjad. Tak punya makna apa-apa bila sekadar pamer eksis dan narsis. Ugal-ugalan malah terlihat jelas. Ditonton semua orang, termasuk para pelakon yang konon cerdas. Termasuk pewarta yang konon jadi pengkhutbah yang bikin tambah cerah dan cerdas. Nyatanya, semua pada amblas.
Semuanya, ya semuanya tergoda dan terjebak dalam balutan pelumas. Bukan saja lembaran uang kertas dan emas di tambang emas, tapi juga rumah mewah di berbagai lokasi termasuk dekat Perumnas. Semua ditanggung dan dibayar lunas. Biar semua bisa korupsi dengan bebas. Asal semua saling kunci dan tetap bebas. Dan, kaum jelata di bawah dianggap sudah puas. Padahal yang di atas jahat secara bebas dan memang semakin culas. (*)
Syamsudin Kadir; Pendiri Komunitas “Cereng Menulis”