Lensaparlemen.com – Beredarnya surat asosiasi eksportir buah Australia yang memaparkan keluhan soal ketidaktransparanan impor oleh Indonesia, bukanlah persoalan ringan.
DPR berharap pemerintah meluruskan persoalan ini dengan pihak Australia. Selain itu, DPR juga berharap surat tersebut bisa menjadi pemicu bagi penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut indikasi korupsi dari persoalan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Holtikultura).
“Kalau benar ada dugaan jual beli kuota impor, atau izin impor, ya harus diusut, diproses secara hukum. Bisa KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian,” ujar Anggota DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, Jumat (20/3/2020).
Dave menegaskan, praktik-praktik “jual-beli” kuota impor yang hanya dikuasai pemain-pemain tertentu, jelas bukan hanya menyalahi prinsip fair trade atau perdagangan yang adil. Lebih jelas, hal ini patut diduga adalah korupsi.
DPR sendiri siap membahas ini dengan pemerintah, agar hal ini tidak menjadi hal yang mengganggu hubungan sangat baik kedua negara.
“Kita kan tahu ini muncul di media. Sampai saat ini memang belum ada nota diplomatik dari pemerintah Australia, kalau sudah ada akan direspon Kemenlu, baru bisa kita bahas bersama (DPR),” jelas politisi Partai Golkar ini.
Dikatakan Dave, jika ada tuduhan dari Asosiasi pengusaha di Australia terkait Pemerintah Indonesia yang mengeluarkan izin impor dengan menyalahi prinsip fair trade itu, maka mereka (asosiasi eksportir negara tersebut-red) melalui pemerintah Australia bisa menggugat melalui pengadilan arbitrase internasional. Namun, ia berharap ini tidak terjadi.
“Oligopoli atau monopoli itu bisa diselesaikan melalui pengadilan arbitrase internasional,” ujarnya lagi.
Evaluasi RIPH
Pada kesempatan terpisah, Dewan Pembina Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menanggapi juga soal surat tersebut.
Kemendag, menurutnya dapat memeriksa apakah proses penetapan izin sudah sesuai prosedur, baik dalam proses maupun dari ketentuan terkait importirnya. Kementan juga punya kewenangan yang sama.
“Sedang Kementan dapat memeriksa juga apakah proses penetapan rekomendasi sudah sesuai prosedur. Tentu kita tidak ingin kasus-kasus pemberian izin tersebut terindikasi malpraktik,” ujar mantan Wakil Menteri Perdagangan ini.
Diakuinya, dari surat itu, belum ada implikasi terhadap isu impor buah ini. Kecuali, jika kemudian pemerintah Australia yang berkirim surat resmi ke pemerintah RI melalui Kemenlu atau Kemendag.
Di sisi lain, ia menyerukan agar setiap pihak dan kementerian terkait, membenahi diri dan menjaga integritas.
“Tidak merespon langsung bukan berarti tidak memberi perhatian. Tidak adanya malapraktik adalah kepentingan kita sendiri. Kita menjaga integritas tata kelola kita bukan karena permintaan orang lain tetapi karena kita memang negara berdaulat yang semakin maju,” ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya, pemerintah melalui Kemendag dan Kementan harus memeriksa kembali penerbitan RIPH yang dipersoalkan asosiasi eksportir Australia, apakah sudah sesuai prosedur atau belum.
Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah harus memastikan kebenaran surat elektronik itu. Enny mengatakan, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah. Pasalnya, Presiden pernah berkomitmen akan memberantas oligopoli apalagi monopoli.
Seperti diketahui, beredar sebuah surat elektronik atau email yang berasal dari Jeff Scott, CEO Australian Table Grape Association (ATGA) di media sosial.
Jeff dalam surat itu, mempertanyakan pemberian kuota impor melalui RIPH kepada 4 perusahaan yang diduga terafiliasi dengan seorang pengusaha, importir dalam negeri berinisial H.
Dalam suratnya itu, Jeff ingin membahas ini dengan dua menteri di Australia, yakni Menteri Pertanian dan Pengairan David Littleproud dan Menteri Perdagangan Simon Birmingham, karena kemudian diketahui bahwa kuota impor diberikan kepada 4 perusahaan yang diduga pemiliknya sama, yakni pengusaha H.
Di surat itu, Jeff juga menyebut bahwa pengusaha itu mengeluarkan dana banyak untuk mendapatkan kuota tersebut dan menjual kuotanya seharga 11000 dolar per kontainer kepada importir lain.
Menurut surat itu, pihak Australia juga mengaku sudah memanggil Duta Besar Indonesia di Australia untuk membicarakan hal tersebut. Namun pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengaku tidak punya informasi mengenai pemanggilan tersebut.
Sementara Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, penerbitan RIPH diproses secara online untuk semua pemohon berdasarkan Permentan 39/2019 jo Permentan nomor 02/2020.
Ia mengatakan, hingga 12 Maret 2020, RIPH buah anggur yang sudah dikeluarkan yakni untuk 26.470 ton.
“Proses pemberian RIPH dilakukan secara transparan dan dapat dipantau secara online,” tegas Liliek, baru-baru ini