Lensaparlemen.com, Jakarta– Oleh Dr. Mukhaer Pakkanna (Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta)
Data teranyar dari Bank Indonesia (BI) (Senin, 15/6), mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia sebesar US$400,2 miliar atau kisaran Rp5.700 triliun (April 2020) Utang itu, tumbuh 2,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan Maret 2020 sebesar 0,6% (yoy). ULN itu untuk sektor publik (Pemerintah dan BI) sebesar US$192,4 miliar, sedangkan sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$207,8 miliar.
Mengapa ULN meningkat? Pertama, penerimaan dari pajak mengalami slow down akibat efek Covid-19. Opsi yang dipilih menutup kekurangan penerimaan, menambahkan utang baru. Pemerintah melakukan beberapa ULN. Terdapat 3 (tiga) sumber utama, Bank Dunia (World Bank), ADB (Asian Development Bank), dan IDB (Islamic Development Bank). Salah satu cara terbaru yang dilakukan pemerintah akibat seretnya penerimaan adalah, adanya arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN) dan penerbitan Global Bonds Pemerintah.
Kedua, memang pihak kreditur memainkan banyak cara untuk mengikat Indonesia dengan ULN. Caranya, lembaga dan negara lain juga memberikan utang lunak (bunganya rendah dan jangka pengembaliannya lama) tetapi dengan berbagai syarat misalnya, harus digunakan untuk kebutuhan tertentu atau bisa digunakan asal tenaga ahli yang digunakan berasal dari negara pemberi ULN (kreditur) Artinya, sebagian dana ULN Indonesia kembali ke luar. Maka Indonesia harus berusaha mencari utang luar negeri yang tak terikat.
Selain itu, banyak ULN adalah utang haram (odious debt). Utang haram adalah ULN yang penggunaannya tidak untuk kepentingan rakyat tetapi untuk, misal: membangun proyek prestisius yang tak berguna, memperkuat militer yang justru untuk menindas rakyat. ULN di zaman Orde Baru, banyak yang masuk kategori ini.
Selain disandera jeratan ULN, juga pemerintah di sandera oleh utang dari dalam negeri, termasuk dari BUMN. Bahkan, satu per satu direksi BUMN mengadukan persoalan keuangannya ke DPR RI yang membidangi BUMN, perindustrian, dan perdagangan ini. Paling tidak, sudah ada 10 BUMN yang mengungkapkan piutang mereka yang hingga kini belum dibayar pemerintah cq Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Seperti PT Pertamina (Persero), yang jumlkahnuya Rp96,53 triliun. Utang tersebut merupakan jumlah subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan kompensasi selisih harga jual premium.
Demikian juga PLN yang menagih Rp48 triliun. Nilai tunggakan pemerintah terdiri atas kompensasi pada 2018 sebesar Rp23 triliun, kompensasi tahun 2019 sebesar Rp22 triliun, dan tambahan subsidi Rp3 triliun untuk program diskon tarif rumah tangga pada 2020 ini.
Editor: Din Salahudin