Anggota Baleg Fraksi PKS, Bukhori pasal Yusuf mengungkapkan bahwa UU Cipta Kerja menyimpan karet pada salah satu pasalnya.
Temuan ini diperoleh setelah melakukan penyisiran pada Pasal 68 UU Cipta Kerja terkait perubahan ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan perhatian utama kami, yakni terkait syarat Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang harus kami miliki adalah WNI dan Muslim yang berada dalam UU No. 8/2019 (eksisting). Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, Pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat, ”papar Bukhori mengawali penjelasannya.
Alhasil, Fraksi PKS menahan untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg.
Namun di sisi lain, pembahasan perihal yang diatur oleh Pemerintah dan DPR secara terpisah, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU No. 8/2019 dengan menambahkan batas waktu 5 hari, imbuhnya.
“Sebagai perubahan, UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian pasal sisipan tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini nyatanya memiliki pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga otoritas yang berwenang, ”katanya
Ketua DPP PKS ini menilai pasal sisipan tersebut sebenarnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan perlindungan terhadap jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara haji / umrah yang merugikan pihak yang pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.
“Namun anehnya, di dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126 bahwa PIHK atau PPIU yang melakukan tindakan yang dimaksud dalam pasal 118A dan penjara pidana yang dikenakan pidana paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar,” keluhnya .
Sebagai informasi, pasal 118A dan 119A mencakup sanksi administratif, dari yang ringan yaitu denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, ditambah kewajiban biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan / atau PIHK serta kerugian immateriil lainya.
“Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pasal 125 dan pasal 126 memiliki maksud yang tidak masuk akal akibat definisinya yang tidak jelas. Karena pesanan pesanan pasal tersebut untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU / PIHK nakal, tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan kesalahan, kepulangan, dan keterlantaran, ”tukasnya.
Padahal, lanjutnya, sanksi dari tindakan tersebut sebelumnya diatur dalam pengaturan administratif, bisa dalam denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin ditambah perbaikan setoran jemaah, katanya.
Alhasil, akibat dari tumpang tindih pasal sanksi ini akan membuka celah bagi kejadian multitafsir atau pasal karet. Pasalnya, penegak hukum dapat memberlakukan sanksi pidana saja atau utang (sanksi pidana dan sanksi pidana) sekaligus.
“Berat sekali konsekuensinya bila kedua sanksi tersebut sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah penjara maksimal 10 tahun. Sedangkan di sisi lain, saya melihat ada potensi atau celah bagi permainan hukum disini, ”katanya.
Dari segi etika hukum, politisi PKS menganggap pemberlakuan sanksi yang diberlakukan tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melebihi batas kewajaran. Sebab, sanksi tersebut menjerat perusahaan atau sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, dalam pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.
“Kami mengoreksi ambiguitas yang terkait dengan pengenaan sanksi yang berlapis untuk perbuatan dalam UU ini sebenarnya tidak lepas sebagai akibat dari ketergesa-gesaan selama proses penyusunannya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII ini menilai konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah melalui regulasi baru ini sebenarnya sudah baik. Namun, dengan kesalahan pasal karet tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru.
Bahkan, Bukhori dalam beberapa waktu yang lalu telah menerima keluhan dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah yang setuju dan terkait dengan keberadaan pasal kontroversial tersebut. Sebabnya, ketentuan baru tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi mereka dan sangat rentan dijadikan objek permainan hukum.
“Kami juga mengamini bahwa bagi pihak penyelenggara umrah dan haji yang sengaja menyebabkan kegagalan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana,” ungkapnya.
Namun demikian, politisi dapil Jateng saya menambahkan, dengan melihat fakta bahwa ancaman larangan UU Cipta Kerja ini sifatnya berlapis, menurut hemat saya, pasal pidananya sebaiknya dicabut saja agar tidak membuka ruang spekulasi bagi penegak hukum sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas Keadilan.